Para Terduga e-KTP Bermental Baja
SUARAMEDAN.com - Seorang mantan jurnalis senior yang pernah bekerja di BBC London mengungkapkan keprihatinannya terhadap permasalahan korupsi e-KTP yang sedang menjerat beberapa elit politik di tanah air.
Dalam pandangannya, para elit yang terlibat dalam pusaran korupsi e-KTP merupakan orang-orang yang "bermental baja". Kalimat "bermental Baja" tersebut tentunya bukan merupakan pujian melainkan sendiran halus kepada para koruptor di tanah air yang sudah tidak punya rasa malu lagi terhadap pencurian yang dilakukannya terhadap negara ini. Berikut ulasannya beliau :
Betul juga rupanya bahwa para pejabat di Indonesia ini bukan sembarang orang. Mereka digembleng dengan keras sampai memiliki mentalitas yang sangat kuat, mental baja, tidak mudah goyah dan tidak mudah menunjukkan rasa malu. Tidak sia-sia pelatihan yang mereka jalani, khususnya mereka yang berasal dari partai-partai politik. Proses penempahan yang sangat efektif.
Sekarang ini terbukti hebat daya tahan mental mereka. Ketika menghadapi guncangan di atas 8 skala Richter, para pejabat itu tidak sempoyongan. Tetap tegak berdiri, sambil senyam-senyum menghadapi kamera televisi atau jepretan para wartawan foto. Tetap segar dan tegar. Rapi berdasi. Bagaikan tidak ada peristiwa yang terjadi.
Inilah yang disaksikan khalayak ketika KPK, melalui dakwaan yang dibacakan dalam siding perdana korupsi e-KTP di pengadilan Tipikor, 9 Maret 2017, dengan terdakwa Irman dan Sugiharto, membeberkan keterlibatan ketua DPR, Menkumham, dua gubernur, dan para pejabat tinggi DPR lainnya dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik atau e-KTP dengan total pencurian uang negara sebesar 2.3 triliun rupiah. Para pejabat yang disebutkan di dalam dakwaan itu, sama sekali tidak kelihatan terpengaruh.
Sangat menarik sekaligus juga memukau. Rasa percaya diri mereka sangat tinggi. Ibarat menghadapi pertandingan di atas ring, para terduga korupsi e-KTP itu tampak tenang menghadapi KPK sebagai lawan mereka. Para terduga terlihat tenteram, seperti tidak ada masalah.
Yang menjabat sebagai ketua DPR, terus saja berkantor. Yang duduk sebagai menteri, tetap bertugas seperti biasa; yang duduk sebagai gubernur pun santai-santai saja, dan yang duduk sebagai anggota DPR juga senantiasa senyam-senyum. Padahal, ancaman yang ada di depan para terbeber itu cukup serius mengingat selama ini hampir tidak ada orang yang disebut sebagai terduga, apalagi tersangka, yang bisa selamat dari palu hakim pengadilan Tipikor.
Dalam dakwaan jaksa KPK, para terbeber disebutkan dengan jelas menerima suap, lengkap dengan jumlah duitnya. Ini menunjukkan bahwa KPK sudah memiliki bukti-bukti kuat. Dan KPK mendeklarasikan bahwa lembaga antikorupsi ini memiliki minimal dua alat bukti untuk setiap individu terduga. KPK tampak yakin akan bisa membawa semua terbeber itu ke pengadilan Tipikor dan kemudian menggiring mereka ke penjara.
Lantas, mengapa para terduga rata-rata tidak menunjukkan kegelisahan, kecuali beberapa orang saja seperti Pak Chatibul Umam Wiranu dan Pak Marzuki Alie? Apakah ini pertanda bahwa mereka, para terduga seperti Pak Setya Novanto (ketua DPR), Menkumham Yosanna Laoly, Ganjar Pranowo (gubernur Jawa Tengah), Olly Dondokambey (gubernur Sulawesi Utara), Gamawan Fauzi (mantan Mendagri), Chaeruman Harahap, dll, sudah jauh-jauh hari mempersiapkan “pembelaan” yang paling ampuh, yang akan meloloskan mereka dari hukuman penjara? Atau, apakah ini menunjukkan kepasrahan mereka karena akhirnya semua terduga akan digiring ramai-ramai ke sel tahanan?
Sempat terasa buntu juga melanjutkan tulisan ini. Buntu memikirkan kenapa beliau-beliau itu tidak mengundurkan diri saja atau disuruh mundur oleh atasan mereka –dalam hal ini para pimpinan parpol?
Mungkinkah megakorupsi yang melibatkan begitu banyak anggota DPR senior ini membuat semua orang kebingungan? Bisa jadi demikian. Presiden Joko Widodo bereaksi dengan komentar bahwa kasus korupsi e-KTP ini membuat “Semuanya bubrah gara-gara anggarannya dikorup.” Presiden meminta KPK profesional menangani korupsi kelas super berat ini.
Wakil Presiden Jusuf Kalla berharap kasus korupsi e-KTP tidak sampai mengakibatkan turbulensi politik. Boleh jadi Wapres menyindir bahwa sesungguhnya akan terjadi guncangan besar yang akan memporak-perandakan barak-barak politik di Indonesia. Kemungkinannya sangat besar. Khalayak akan semakin apatis, semakin tidak percaya pada parpol-parpol dan DPR sebagai markas mereka.
Presiden marah besar, kata Mendagri Tjahjo Kumolo. Sayangnya, belum ada langkah yang dilakukan Presiden untuk memutus matarantai antara beliau dan kasus korupsi ini. Khalayak menunggu-nunggu tindakan serius Presiden terkait menteri terduga yang masih aktif. Begitu juga dua gubernur terduga yang tetap dibiarkan di posisi mereka.
Memanglah khalayak bisa memahami bahwa Pak Presiden harus konsultasi dulu kepada Ibu Megawati Soekarnoputri sebelum mengambil tindakan terhadap para terduga yang kebetulan berasal dari parpol Ibu Mega. Banyak yang yakin bahwa Bu Mega ikut “menentukan” langkah-langkah yang bisa diambil oleh Pak Jokowi.
Kesulitan tampaknya juga dialami oleh pimpinan di parpol-parpol yang anggota DPR-nya ikut terduga. Di Golkar, hanya ada seorang politisi yang mengisyaratkan supaya para terduga korupsi e-KTP diusut tuntas termasuk atasannya, Setya Novanto. Golkar malah membentuk tim hukum untuk mengawal proses yang berlangsung di KPK.
Dalam rapat Dewan Pakar, 14 Maret 2017, Golkar membantah dugaan korupsi yang diarahkan kepada mereka dan kader mereka. Artinya, Golkar tidak terima kader-kadernya menjadi terduga korupsi. Golkar merasa bersih, merasa tak pantas dilibat-libatkan dalam kasus korupsi.
Parpol-parpol sekarang ini sedang sibuk membantah. Dakwaan jaksa KPK menyebutkan aliran dana e-KTP ke semua parpol di DPR. Partai Demokrat, dan Partai Golkar disebut-sebut kebagian 150 miliar masing-masing, sementara PDIP dan partai-partai lain masing-masing 80 miliar. Tetapi, partai-partai besar ini membantah.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) malah mengusulkan agar ketua KPK, Agus Raharjo, diselidiki kemungkinan keterlibatannya dalam korupsi e-KTP. PPP mendukung saran anggota DPR dari PKS, Fahri Hamzah, agar Agus mundur dari jabatan ketua KPK mengingat dia, dalam jabatannya sebagai Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pernah ikut rapat di Istana membahas proyek e-KTP. Bukankah langkah PPP ini menunjukkan kelemahan manusia yang sedang terpojok?
Pimpinan Partai Hanura meminta klarifikasi dari Miriyam S Haryani yang disebut oleh KPK menerima ratusan juta rupiah. Miriyam menngatakan dia tidak ada menerima duit e-KTP, tetapi pimpinan tertinggi Hanura, Wiranto, mengatakan dia ingin melihat kasus ini dituntaskan oleh KPK.
Sebagai penonton, khalayak tidak perlu ikut bingung. Sebab, ibarat gempa bumi, kerusakan dan korban jiwa yang ditimbulkannya tidak bisa diketahui dan dihitung dalam satu-dua minggu.
by Asyari Usman
(Penulis adalah mantan wartawan BBC. Artikel ini adalah opini pribadi penulis, tidak ada kaitannya dengan BBC)
loading...
0 Response to "Para Terduga e-KTP Bermental Baja"
Post a Comment