Quo Vadis Sumut Provinsi Literasi? - Suara Medan | Info Medan Terkini

Quo Vadis Sumut Provinsi Literasi?

SUARAMEDAN.comIndonesia darurat literasi. Demikianlah kabar pahit ini disebarkan secara massif ke seantero negeri. Sejumlah hasil riset dari luar negeri kerap dipapar di berbagai forum. Misalnya data hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) rilisan Organisation for Economic Co-Operation and Develompent (OECD) tahun 2015. Riset ini menunjukkan rendahnya tingkat literasi Indonesia dibanding negara lain di dunia. Indonesia berada pada ranking 62 dari 70 negara yang disurvei.
            Selanjutnya, ada peringkat literasi bertajuk 'World's Most Literate Nations' yang diumumkan pada Maret 2016, produk dari Central Connecticut State University (CCSU). Pemeringkatan perilaku literasi ini dibuat berdasar lima indikator kesehatan literasi negara, yakni perpustakaan, surat kabar, pendidikan, dan ketersediaan komputer. Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara yang disurvei. Kita hanya lebih baik dari negara nun jauh di Afrika: Botswana. Peringkat teratas diborong negara-negara Skandinavia. Nomor satu ada Finlandia, disusul Norwegia, Islandia, Denmark dan Swedia.
            Begitu pula dalam agenda talk-show yang dihelat Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Sumatera Utara dalam rangka Pertemuan Penulis, Pembaca dan Penerbit Tahun 2019 di pada Rabu, 12 Juni 2019 lalu di Hotel Madani, Medan. Angka-angka ini kembali mengemuka oleh para pembicara yang hadir di antaranya Kepala Dispusipda Sumut, Hallen Purba, Ketua Ikatan Penulis Sumatera Utara, Mihar Harahap, peneliti Balai Bahasa Sumatera Utara Suyadi San, sastrawan Hasan Al Banna, redaktur Harian Analisa Ali Murtadho dan Sekretaris IKAPI Sumut, Asrun Daulay. Tak ayal diskusi malam itu berubah seolah menjadi ajang curhat para pegiat literasi tentang minimnya minat dan budaya baca di provinsi ini.
            Sayangnya, sebagian solusi yang ditawarkan belum menyentuh akar persoalan kedangkalan literasi. Pengadaan perpustakaan di daerah, instansi hingga rumah ibadah tentu sangat baik. Penyelenggaraan sayembara menulis cerita rakyat tahunan pun oke. Layanan mobil perpustakaan keliling juga mantap. Tapi apakah minat baca kita tumbuh?
            Faktanya banyak toko buku gulung tikar, buku-buku teronggok di gudang berdebu, sementara perpustakaan nyaris mati dibunuh sepi. Kalau bukan karena dosen dan guru yang memberi tugas makalah dengan kewajiban menukil sekian referensi, bisa jadi kunjungan ke perpustakaan tinggal seremoni institusi pendidikan sebagaimana dialami museum. Jadi, amat tepat pendapat Ketua Asosiasi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia (AGBSI) Sumut, Saripuddin Lubis dalam pertemuan tersebut bahwa pokok persoalan dunia literasi kita bukanlah perkara kurangnya ketersediaan bahan bacaan, melainkan belum tumbuhnya budaya baca.

Provinsi Literasi
            Masih berlarutnya persoalan literasi ini sangat bertolakbelakang dengan semangat menggebu Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Tepat di Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2017, Gubernur Sumatera Utara waktu itu T. Erry Nuradi mendeklarasikan Sumatera Utara sebagai Provinsi Literasi dan dimulainya gerakan literasi di Sumatera Utara. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir yang datang bersama Sekretaris Utama Perpustakaan Nasional Dedi Junaedi turut bertepuk tangan meriah menyambut pencanangan itu.
            Sumut merupakan provinsi keempat yang mendeklarasikan diri sebagai provinsi literasi setelah DKI Jakarta, Riau, dan Nusa Tenggara Barat. “Hal-hal yang berhubungan dengan implementasi gerakan literasi di Provinsi Sumatera Utara akan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, sistematis, dinamis, dan berkesinambungan,” janji Erry sebagaimana dikutip Kompas.com (21 Mei 2017). Pendeklarasian ini dilakukan sebagai bentuk dukungan Pemprov Sumut terhadap Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Permendikbud tersebut mengatur kegiatan membaca buku nonpelajaran wajib 15 menit sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai. Pemerintah menganggap hal ini bisa menuntaskan problem literasi kita.
            Justru di sinilah letak persoalannya. Gerakan literasi disimplifikasi hanya menjadi kegiatan yang mewajibkan siswa membaca. Entah sang siswa senang atau terpaksa tak pernah dibahas. Jika saja guru tak kreatif mempropagandakan manfaat dan pentingnya membaca, maka seremoni lima belas menit saban hari akan menjadi menit-menit paling horor yang menghantui hidup para pelajar. Ditambah lagi bila guru secara monoton hanya menggunakan metode membaca mandiri, dijamin pada satu waktu siswa akan menemukan titik jenuh. Padahal masih ada metode membaca nyaring (read aloud), membaca bersama (shared reading) dan membaca terpandu (guided reading) yang bisa jadi lebih mengasyikkan. Akhirnya aktivitas literasi malah dianggap sebagai momok menakutkan atau sekurangnya membosankan
            Literasi pada dasarnya adalah istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam modul yang diterbitkan Satgas Gerakan Literasi Sekolah Kemendikbud, literasi terdiri enam jenis yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi finansial, literasi digital serta literasi budaya dan kewargaan. Merujuk definisi ini, literasi tak bisa sekadar dimaknai kegiatan baca tulis, tapi juga menghidupkan budaya ilmu dan riset. Pada titik tertingginya, kita hendak menciptakan pola pikir masyarakat modern yang disebut High Order Thinking Skills (HOTS). Lalu bagaimana seharusnya?

Literasi dari Keluarga
            Berdasarkan prinsip yang diusung oleh Ki Hajar Dewantara bahwa di dalam tripusat pendidikan terdapat tiga pihak yang sangat berpengaruh, yaitu, keluarga, sekolah dan masyarakat. Maka dari itu, keluarga memiliki peranan penting sekaligus menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan program Gerakan Literasi Nasional. Khususnya dalam menumbuhkan budaya baca.
            Suka tidak suka, harus kita akui bahwa salah satu musuh terbesar gerakan literasi adalah gawai (gadget). Gawai memang tak berdosa karena ia benda netral ibarat pisau bermata dua. Tergantung bagaimana kita mengendalikannya. Sayangnya, di republik ini kebanyakan pengguna gawai adalah pecandu permainan daring (game online) seperti PUBG dan Mobile Legend. Permainan ini kerap menyita banyak waktu penggunanya hingga sering mengabaikan sisi kehidupannya yang lain, baik anak-anak maupun orang dewasa. Mimpi tentang shifting (peralihan) media bacaan dari cetak ke digital masih sebatas karangan fiksi yang belum terwujud.
            Hal ini diperparah dengan kurangnya perhatian orang tua terhadap anaknya. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah menyatakan bahwa usia anak mengakses gawai adalah 13 tahun karena dinilai sudah cukup nalar untuk membedakan hal baik dan buruk (tirto.id, 18 Mei 2018).
            Itupun tetap harus dengan pendampingan dan teladan orangtua. Jangan sampai anak dilarang, tapi ayah sibuk berbalas pesan di Whatsapp dan ibu fokus menyimak aneka promo di toko daring. Di hari libur pun, jangan disalahgunakan sebagai hari kebebasan bergawai, namun dimanfaatkan untuk bercengkerama bersama keluarga.
            Selanjutnya, literasi keluarga dimulai dengan menyediakan perpustakaan mini di rumah. Siapkan anggaran rutin untuk membeli buku baru setiap bulan sesuai kemampuan kita. Agendakan waktu khusus untuk membacakan buku kepada anak. Nanti di momen ulang tahun, orang tua dapat memberikan hadiah buku yang menarik. Kita masih harus bertarung dengan televisi dan internet. Maka yang terpenting jadilan teladan yang dapat ditiru anak. Patut kita simak sindiran penulis Australia, Paul Jennings, “Tak ada gunanya menularkan virus membaca ke dalam diri anak-anak, jika Anda sendiri tak pernah memilikinya.”
            Intinya, semua elemen harus berjuang bahu-membahu menumbuhkan budaya literasi bangsa. Program pemerintah terus digenjot dan diarahkan agar lebih efektif. Termasuk menggunakan anggaran yang ada untuk sosialisasi kepada orangtua. Selebihnya di sinilah peran elemen masyarakat secara kultural. Oh ya, jangan sampai ada yang mengaku sebagai pegiat literasi, tapi dia sendiri alpa membaca buku ya!

Oleh: Anugrah Roby Syahputra            
Penulis adalah pegiat literasi pada Forum Lingkar Pena Sumatera Utara
           
           

Subscribe to receive free email updates:

loading...

0 Response to "Quo Vadis Sumut Provinsi Literasi?"

Post a Comment