Merayakan Demokrasi Binjai - Suara Medan | Info Medan Terkini

Merayakan Demokrasi Binjai



Oleh: Anugrah Roby Syahputra
Sebentar lagi jutaan rakyat Indonesia akan menggelar pesta demokrasi lokal. Termasuk warga kota rambutan, Binjai, Sumatera Utara yang akan memilih siapakah sosok pemimpinnya 5 tahun mendatang. Meski dilanda pandemi, KPU Kota Binjai tetap melaksanakan mandat UU yang mengamanatkan dihelatnya pesta demokrasi tersebut pada Rabu, 9 Desember 2020. Tiga pasangan calon akan bersaing untuk merebut hati dan kepercayaan 179.560 rakyat  Binjai yang tersebar di 5 kecamatan. Nomor urut 1 ada Rahmat Sorialam Harahap, S.H, M.H- Dr. H. Usman Jakfar, Lc,M.A (Gerindra-PKS). Kedua ada pasangan Hj. Lisa Andriani Lubis, S.Psi-Sapta Bangun yang didukung PDIP, Nasdem dan PAN. Selanjutnya ada H. Juliadi- Amir Hamzah dari koalisi Golkar, Demokrat dan PPP.

Suasana jelang Pilkada semakin meriah dengan warna-warni baliho, spanduk dan poster yang menghiasi sekujur kota. Tak ketinggalan para abang becak juga memamerkan dukungannya kepada para kandidat dengan memasang tenda becak bergambar jagoannya. Diskusi warung kopi kian hangat membincangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi bak Indonesia Lawyers Club di televisi. Apalagi lini masa media sosial riuh rendah dengan para tim sukses, relawan dan pendukung yang menyerukan ajakan memilih.

Musuh Demokrasi

Kita percaya bahwa semua calon memilik satu tujuan yang sama untuk kebaikan. Hanya caranya saja yang diekspresikan secara berbeda. Oleh karenanya semua elemen haruslah saling menghargai. Salah satu musuh terbesar demokrasi kita di era digital ini adalah maraknya berita bohong dan ujaran kebencian. Ramainya hoaks yang menyelinap ke telepon genggam kita sedikit banyak akan meracuni pikiran pemilih khususnya yang belum memiliki literasi digital yang baik.

Sosiawan Leak mendeskripsikan para penyebar fitnah ini dengan apik dalam kumpulan puisi Sajak Hoax. “Orang-orang tanpa kepala/tak bisa menyimpan argumentasi, fakta, dan data/serta kebenaran logika di otaknya/ dari kelingking, sikut, dengkul/bahkan dubur dan belahan pantat; kata-kata muncrat/menjelma sihir provokasi, lendir agitasi” tulisnya di halaman 164. Lebih lanjut sastrawan asal Bali itu menulis, “Juga kedangkalan nurani/menabur filsafat kebodohan dan iri dengki tanpa tandingan/tak dapat dilacak di kamus istilah, risalah penelitian/teori, dan kajian keilmuan/apalagi kitab suci dan lontar kearifan lokal.”

Hal ini semakin mencemaskan jika kita sandingkan dengan penelitian Stanford University pada tahun 2016 yang menjelaskan bahwa mayoritas generasi muda kesulitan membedakan mana antara berita faktual dengan advertorial. Begitu pula dengan hoaks yang oleh pemerintah sudah dinyatakan mewabah. Parahnya, riset Unika Atmajaya tahun 2019 mengonfirmasi kekhawatiran ini. Pasalnya, kaum muda perkotaan di Indonesia cenderung menggunakan media sosial sebagai referensi informasi. Konten yang tersaji di Internet diperlakukan tidak lagi sebagai hiburan belaka, tetapi juga dimaknai sebagai penentu keputusan, termasuk dalam pilihan politik. Padahal apabila menilik jumlah generasi muda digital native yang juga bakal menjadi pemilih pemula di Indonesia, angkanya sungguh besar.

Tak hanya anak muda, generasi X yang disebut sebagai digital immigrant juga disebut gagap teknologi sehingga kerap mudah sekali membagikan informasi tanpa memverifikasi validitasnya terlebih dahulu. Jika ini dibiarkan, maka kualitas demokrasi Binjai akan terjun bebas. Seyogianya Pilkada ini adalah momentum adu gagasan dan tawaran program, bukan menebar kebencian dan menabur benih permusuhan. Itulah sebabnya setiap warga wajib punya kontribusi untuk menyehatkan demokrasi kita dengan tradisi saring sebelum sharing. Para kandidat pun alangkah baiknya jika menerangkan dengan benderang visi, misi, program serta siap menerima masukan dan kritik secara terbuka.

Melawan Daulat Uang

Selama beberapa Pemilu terakhir istilah NPWP dan Golput telah mengalami pergeseran makna. Masyarakat memelesetkan kepanjangannya terkait dengan politik transaksional. NPWP adalah akronim dari Nomor Piro Wani Piro, sedangkan Golput adalah kependekan dari Golongan Penganut Uang Tunai. Rendahnya tingkat kepercayaan publik kepada eksekutif dan legislatif selama ini menjadi alasan bagi perilaku pemilih semacam ini. Pemilu tak lagi dilihat sebagai mekanisme demokrasi untuk memilih pejabat publik yang akuntabel, tapi dibaca sebagai “transaksi normal” antara politisi dan warga, atau meminjam istilah Corstange (2012: 483), pemilu sebagai ‘panen uang.’

Selain itu ada pula metode politik uang yang disebut Edward Aspinal (2016) sebagai club goods. Hal ini merupakan taktik elektoral yang biasa digunakan kandidat dengan cara memberi bantuan pembangunan kecil-kecilan seperti renovasi sekolah, rumah ibadah atau sejenisnya atau dalam bentuk donasi kepada organisasi atau komunitas tertentu. Masyarakat utamanya yang berasal dari kalangan ekonomi rendah cenderung rentan terdistraksi tawaran yang dianggap menggiurkan seperti ini. Namun, ketahuilah jika uang tetap punya kuasa menentukan arah pilihan publik Binjai, maka kita akan terperangkap dalam lingkaran setan yang merusak. Sogokan yang dibagikan itu –jika ada- tentulah berasal dari pemodal yang punya kepentingan terhadap APBD Binjai. Inilah yang disebut Ignatius Wibowo sebagai bandit demokrasi. Kita yang masih memiliki akal sehat dan nurani tak boleh tinggal diam. Upaya jahat politik uang harus dilawan dengan edukasi secara komprehensif kepada pemilih.

Damai Tanpa Polarisasi

Nah, setelah Pilkada usai nanti, siapapun yang terpilih haruslah didukung. Yang menang tidak jumawa dan siap merangkul, sementara yang kalah berjiwa besar serta mengokohkan komitmen membangun Binjai meski dari luar sistem. Lucian W. Pye dalam Democracy and Its Enemies (2020)  menegaskan bahwa demokrasi meniscayakan sikap kompromi, bukan sikap partisan ekstrem, bahkan ketika mendukung demokrasi.

Sekarang tugas kita ayo ajak keluarga, tetangga dan kerabat merayakan pesta demokrasi Binjai. Ramai-ramai kita ke TPS dengan gembira. Tak perlu ada perpecahan hanya karena Pilkada karena kita semua bersaudara. Walaupun berbeda-beda kita tetap satu jua. Bukankah itu semboyan bangsa kita?

Penulis adalah anggota Forum Lingkar Pena Binjai. 

Subscribe to receive free email updates:

loading...

0 Response to "Merayakan Demokrasi Binjai "

Post a Comment