Untung Rugi Merger Bank BUMN Syariah
SUARAMEDAN.com - Ditengah kelesuan perekonoimian saat ini, pemerintah mewacanakan merger Bank Syariah, dan akan dikaji lebih mendalam pada tahun 2017. Hal ini beralasan karena pemerintah punya niat yang tinggi agar memiliki Bank Syariah yang kuat.. Wacana ini ini juga disampaikan oleh Direktur Utama Bank Sumut Bapak Edi Rizlianto pada orasi ilmiah Yudisium Ke-5 FEBI UIN SU. Penulis hal ini perlu dikaji mendalam karena dipandang dari sisi keuntungan dan kerugian dari rencana tersebut
Dalam rangka mendorong percepatan pengembangan industri perbankan syariah di Indonesia berikut kontribusinya terhadap perekonomian nasional, pemerintah dan otoritas moneter telah memperkuat landasasan hukum operasional dan pengawasannya. Pada tahun 2002, Bank Indonesia menerbitkan “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia” yang antara lain memuat sekumpulan inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas untuk mencapai sasaran pangsa pasar perbankan syariah yang signifikan. Dalam jangka pendek, perbankan syariah nasional lebih diarahkan pada pelayanan pasar domestik yang potensinya masih sangat besar. Sedangkan dalam jangka panjang, diharapkan bisa terwujud sistem perbankan syariah yang modern. Keberadaan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Kehadiran UU semakin memperkuat landasan hukum bank syariah untuk beroperasi dan mengembangkan pangsa pasarnya.
Setidaknya ada tiga alasan utama mengapa industri keuangan syariah Indonesia harus terus dikembangkan. Pertama, dari sisi financial inclusion, Indonesia harus meningkatkan penyediaan layanan (access) perbankan untuk masyarakat yang tidak menggunakan jasa keuangan konvensional.Kedua, dari sisi financial deepening, Indonesia harus meningkatkan peran jasa keuangan untuk melayani ekonomi dengan memperkenalkan lebih banyak pilihan instrumen keuangan yang unik. Alasan ketiga, dari sisi capital flows, bank syariah merupakan instrumen untuk memfasilitasi aliran modal, terutama bagi mereka yang memiliki preferensi khusus pada keuangan syariah. Sementara dari perspektif makro ekonomi, semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah, selain akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat, juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Beberapa hasil penelitian pada Tahun 2008-2009 menunjukan bahwa bank syariah memiliki daya tahan yang jauh lebih kuat dibanding dengan bank konvensional dalam menghadapi krisis keuangan global.
Perkembangan Bank Syariah di Indonesia belum meningkat secara signifikan. Pada Tahun 2009, jumlah Bank Umum Syariah (BUS) sebanyak 6 bank dengan 711 jumlah kantor. Sementara pada Tahun 2015 bertambah 12 bank dengan jumlah kantor sebanyak 2.121 buah. Jumlah UUS malah berkurang dari 25 unit menjadi 22 unit pada periode yang sama. Begitu juga Bank Pembiyaan Rakyat Syariah (BPRS) hanya meningkat dari menjadi 162 bank dengan 440 kantor. Dalam konteks industri keuangan syariah di di dunia, Indonesia menduduki peringkat kelima setelah Iran, Malaysia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, naik dua peringkat dari 2012 (Global Islamic Finance Report (GIFR), 2013). Akan tetapi dilihat dari besaran market share perbankan syariah, Indonesia berada di peringkat kedua ASEAN (5 persen) setelah Malaysia (18 persen). Walaupun pertumbuhan industri perbankan syariah sepanjang tiga tahun terakhir rata-rata mencapai sekitar 36 persen, akan tetapi market share-nya masih di bawah 5 persen dari total aset bank secara nasional. Jumlah nasabah bank syariah juga masih sedikit, yaitu di bawah 20 juta orang. Data ini memberikan gambaran bahwa perbankan syariah memiliki potensi untuk tumbuh.
Belakangan muncul gagasan merger bank-bank syariah berplat merah (BUMN), yang rencananya akan dipercepat pelaksanaannya pada tahun 2015 (Ahmad Buchory, 2015). Saat ini, terdapat 3 bank syariah dan 1 unit usaha syariah yang berstatus BUMN, masing-masing PT Bank Syariah Mandiri, PT BNI Syariah, PT BRI Syariah, dan unit usaha syariah PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN). Pembicaraan awal rencana ini sudah dimulai dan di-lead oleh Kementerian BUMN. Merger akan membuat bank syariah menjadi besar dan memberikan sumbangsih ke perekonomian nasional. Alasan utama merger bank BUMN syariah ialah Indonesia belum memiliki bank syariah yang memiliki aset dan kemampuan pembiayaan yang besar, padahal Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam (Rini Soemarno, 2015).
Pertanyaannya, apakah hasil merger bank syariah memberikan nilai tambah yang lebih tinggi? Mengingat pengalaman kesuksesan dan kegagalan merger di Negara lain, maka, pemerintah harus melakukan kajian yang konprehensif dan mendalam agar dapat memilih opsi yang terbaik dalam melakukan merger bank-bank (BUMN) syariah di Indonesia. OJK membutuhkan rekomendasi dari pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN untuk menindaklanjuti gagasan merger bank-bank syariah tersebut.
Kajian ini bertujuan untuk (1) mengkaji opsi kebijakan penggabungan bank-bank syariah milik bank-bank BUMN menjadi satu BUMN tersendiri dengan pola merger ataupola konsolidasi; (2) memberikan rekomendasi opsi penggabungan sebagai masukan untuk formulasi kebijakan pemerintah; dan (3) mengestimasi besaran Penyertaan Modal Negara (PMN) pada bank hasil penggabungan (BUMN) untuk memenuhi kategori BUKU III (target modal inti Rp5 triliun - Rp 30 triliun) atau BUKU IV (target modal inti > Rp 30 triliun), dan pemerintah menjadi pemegang saham mayoritas (>50%).
Untuk menentukan pilihan merger atau konsolidasi, dalam kajian ini digunakan metode analisis kuantitatif-deskriptif. Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah added value (sinergy value) seperti valuation method, menggunakan beberapa indicator sebagai berikut: (1) Business analysis; (2) Financial analysis; dan (3) Risk analysis; (4) Economic analysis; dan (5) Legal analysis.
Kajian ini menganalisis enam opsi, yaitu (1) pola kuasi merger dan akuisisi. Langkah yang harus dilakukan adalah dengan mendirikan bank syariah terlebih dahulu, misalnya Bank Syariah Indonesia (BSI). Selanjutnya tiga bank syariah yang menjadi target penggabungan (Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah) digabungkan dan pada tahap akhir melakukan akuisisi terhadap unit usaha syariah (UUS) BTN; (2) pola konsolidasi dan akuisisi. Langkahnya adalah tiga bank syariah target penggabungan dikonsolidasi dengan nama baru dan kemudian dilanjutkan dengan mengakuisisi UUS BTN.; (3) pola merger dan akuisisi. Langkah pertama adalah menggabungkan (merger) tiga bank syariah dan kemudian dilanjutkan dengan mengakuisisi UUS BTN dan selanjutnya mengganti nama bank dengan nama baru, misalnya Bank Syariah Indonesia; (4) mengkonversi BTN menjadi bank syariah dan kemudian digabungkan dengan tiga bank syariah lainnya; (5) matured Merger (Two Step Merger). Langkahnya adalah Bank-bank induk (Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BTN) mendorong akselerasi pertumbuhan bank-bank syariah anak perusahaan (Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah , BRI Syariah, UUS BTN). Selanjutnya, dilakukan penggabungan dengan pola merger; dan (6) UUS BTN tidak ikut dalam penggabungan bank syariah, hanya tiga bank syariah yang digabungkan baik dengan cara merger maupun dengan cara konsolidasi.
Kajian ini menyimpulkan adalah (1) Penggabungan bank-bank syariah dapat dilakukan dengan lebih mudah pada bank-bank syariah yang mempunyai hubungan istimewa dengan Pemerintah dan berbentuk entitas, yaitu Bank Syariah Mandiri, BRI Syariah, dan BNI Syariah. Posisi Pemerintah sebagai pemegang saham utama pada bank-bank induk ketiga bank syariah tersebut membuat proses penggabungan dapat dilakukan dengan lebih mudah; (2) Agar dapat berkompetisi dengan wajar dan tumbuh dengan baik, perlu dibentuk bank syariah yang besar, sehingga skala ekonomi (economies of scale) dapat tercapai, pelayanan dapat ditingkatkan, dan yang paling penting kebijakan bank syariah harus bebas atau independen dan mandiri, serta tidak dalam bayang-bayang bank induk konvensional. dan (3) Pola merger atau konsolidasi memiliki efek yang tidak signifikan berbeda terhadap sisi ekonomi, strategi, keuangan, risiko dan lainnya. Efek yang cukup signifikan atas pilihan skema merger atau konsolidasi diperkirakan pada sisi legalitas dan benturan kepentingan antar sumber daya manunsi (SDM) yang berasal dari atau berlatar belakang berbeda.
Rekomendasi kajian ini adalah sebagai berikut (1) Pembentukan bank syariah baru misalnya Bank Syariah Indonesia dengan konsekuensi perlu modal Negara. Mengingat untuk mencapai target membutuhkan Penyertaan Modal Negara (PMN) yang cukup besar (Rp22,1 triliun), maka tahap pertama mencapai target buku III, dimana modal negara yang perlu ditambahkan hanya sebesar Rp8,93 triliun; (2) opsi penggabungan bank syariah yang dipilih adalah melakukan merger keempat bank syariah, termasuk bank syariah baru, dengan ketiga bank syariah target. Bank syariah baru diposisikan sebagai bank champion. Sedangkan ketiga bank lainnya dibubarkan. Penyertaan modal bank-bank induk konvesional tetap dipertahankan, hanya tidak pada posisi sebagai pemegang saham pengendali.
Empat Bank Syariah milik BUMN yaitu PT Bank Syariah Mandiri, PT Bank BNI Syariah, PT Bank BRI Syariah, dan Unit Usaha Syariah PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, akan di merger. Otoritas Jasa Keuangan mengaku bertekad untuk terus maju menggabungkan atau merger Bank BUMN Syariah. Bila merger dapat dilaksanakan, diperkirakan asset dari 4 bank syariah tersebut mencapai Rp. 106 triliun, dengan gabungan aset ini, diharapkan BUMN dapat melakukan ekspansi ke beberapa negara ASEAN dalam rangka menyambut MEA.penambahan modal diperlukan untuk meningkatkan kapasitas entitas bank hasil merger. perlu dilakukan kajian agar merge tersebut tak hanya sekedar menggabungkan akan tetapi meningkatkan manfaat dan memiliki nilai tambah. Proses merger pasti diiringi masa konsolidasi tiga tahun yang membuat aset mengerut dan tidak ekspansi.
Juga potensi resistensi internal bank-bank syariah, saat aset masing-masing bank BUMN syariah sudah 20 persen dari induknya, total aset akan sudah melampaui Rp110 triliun, barulah merger dilakukan. Pemerintah juga harus menambahkan modal sehingga pemegang sahamnya empat bank induk plus pemerintah. Tahap ini direkomendasikan dilaksanakan pada 2018-2020, Jika tujuan merger untuk membentuk bank syariah besar, maka upayanya tidak hanya bank BUMN syariah.
Akan tetapi juga Bank Pembangunan Daerah (BPD) syariah dan konversi. saat ini Bank Syariah milik Bank BUMN terbesar adalah PT Bank Syariah Mandiri yang merupakan anak usaha PT Bank Mandiri Tbk. BSM bahkan merupakan bank syariah terbesar di Indonesia. Namun, pada akhir tahun lalu, modal perseroan baru mencapai Rp 4,72 triliun sehingga masih berada pada kelompok BUKU II atau bank dengan modal inti Rp 1-5 triliun.
Sementara itu, BNI syariah yang berada diposisi kedua setelah BSM memiliki modal inti sebesar Rp 1,87 triliun per akhir tahun lalu, sedangkan BRI syariah Rp 1,67 triliun. Dengan demikian jika digabungkan, modal inti ketiga Bank Umum syariah tersebut hanya mencapai Rp 8,25 triliun atau baru dapat masuk kelompok BUKU dengan modal inti Rp 5-30 triliun. Dengan demikian, untuk menjadi Bank BUMN, dimana Pemerintah harus memiliki porsi saham diatas 50% pada Bank hasil penggabungan tersebut maka pemerintah harus menyuntikkan modal diatas modal gabungan empat Bank BUMN tersebut atau diatas Rp 8 triliun. Melakukan merger bank BUMN Syariah karena melihat jumlah penduduk muslim mayoritas lebih dari 160 juta. Namun perkembangan ekonomi syariah saat ini terlihat sebagai penetrasi dari sisi aset hanya sekitar 4 persen dibandingkan dengan bank konvensional. Selama ini kinerja bank syariah belum dapat menyaingi dari Bank konvensional.
Berdasarkan data BI per Oktober 2014, total aset perbankan syariah baik Bank Umum Syariah (BUS) maupun Unit Usaha Syariah (UUS) mencapai Rp 260,36 triliun. Angka ini, hanya 4,78 persen dari total aset perbankan konvensional yang bernilai Rp 5.445,65 triliun. Bahkan, pangsa aset perbankan syariah di akhir Oktober 2014 justru lebih sedikit jika dibandingkan Oktober 2013 yang sebesar Rp 229,55 triliun atau 4,86 persen dari total aset perbankan. BI pada akhir tahun 2013 menargetkan porsi aset bank syariah sebesar 5,25 persen–6,25 persen dari total aset bank umum konvensional.
Namun merger memang tak ubahnya buah simalakama. Di satu sisi, langkah itu akan memperkuat bank syariah BUMN. Karena selain modal dan asetnya tambah gede, bank hasil merger juga lebih efisien. Di sisi lain, apabila merger dilakukan, besar kemungkinan akan terjadi pengurangan jumlah pegawai.Pengalaman membuktikan, ketika Bapindo, BBD, BDN, dan Bank Exim bergabung membentuk Bank Mandiri, banyak karyawan terpaksa dirumahkan. Hal yang juga terjadi ketika lima bank swasta bergabung membentuk Bank Permata. Dampak dari merger ini berimbas ke semua level, mulai dari karyawan biasa hingga posisi direktur, akan terjadi pengangguran besar besaran. Itu semua harus dipertimbangkan benar oleh pemerintah. .
Adanya opsi untuk membuka bank syariah tersebut bekerja sama dengan pihak lain. Contoh kerjasama dengan negara GCC maupun Saudi ingin berpartisipasi membangun di Indonesia, sehingga terciptanya tools berpartner , dengan semakin banyaknya mitra berpartisipasi terjadi transfer teknologi, pengetahuan,dan modal masuk, mengapa kita tidak coba. Sangat perlunya peran dan perhatian penuh pemerintah agar mampu meningkatkan akselerasi Bank Syariah di Indonesia, sebagaimana dapat dicontoh di Malaysia sebagai negara tetangga yang sangat perhatian dengan pemerintah, apalagi Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia.
Penulis
Sunarji Harahap, M.M.
Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Islam (FEBI) Universitas Islam Negeri Sumatera Utara dan PEMERHATI EKONOMI SYARIAH
Dalam rangka mendorong percepatan pengembangan industri perbankan syariah di Indonesia berikut kontribusinya terhadap perekonomian nasional, pemerintah dan otoritas moneter telah memperkuat landasasan hukum operasional dan pengawasannya. Pada tahun 2002, Bank Indonesia menerbitkan “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia” yang antara lain memuat sekumpulan inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas untuk mencapai sasaran pangsa pasar perbankan syariah yang signifikan. Dalam jangka pendek, perbankan syariah nasional lebih diarahkan pada pelayanan pasar domestik yang potensinya masih sangat besar. Sedangkan dalam jangka panjang, diharapkan bisa terwujud sistem perbankan syariah yang modern. Keberadaan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Kehadiran UU semakin memperkuat landasan hukum bank syariah untuk beroperasi dan mengembangkan pangsa pasarnya.
Setidaknya ada tiga alasan utama mengapa industri keuangan syariah Indonesia harus terus dikembangkan. Pertama, dari sisi financial inclusion, Indonesia harus meningkatkan penyediaan layanan (access) perbankan untuk masyarakat yang tidak menggunakan jasa keuangan konvensional.Kedua, dari sisi financial deepening, Indonesia harus meningkatkan peran jasa keuangan untuk melayani ekonomi dengan memperkenalkan lebih banyak pilihan instrumen keuangan yang unik. Alasan ketiga, dari sisi capital flows, bank syariah merupakan instrumen untuk memfasilitasi aliran modal, terutama bagi mereka yang memiliki preferensi khusus pada keuangan syariah. Sementara dari perspektif makro ekonomi, semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah, selain akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat, juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Beberapa hasil penelitian pada Tahun 2008-2009 menunjukan bahwa bank syariah memiliki daya tahan yang jauh lebih kuat dibanding dengan bank konvensional dalam menghadapi krisis keuangan global.
Perkembangan Bank Syariah di Indonesia belum meningkat secara signifikan. Pada Tahun 2009, jumlah Bank Umum Syariah (BUS) sebanyak 6 bank dengan 711 jumlah kantor. Sementara pada Tahun 2015 bertambah 12 bank dengan jumlah kantor sebanyak 2.121 buah. Jumlah UUS malah berkurang dari 25 unit menjadi 22 unit pada periode yang sama. Begitu juga Bank Pembiyaan Rakyat Syariah (BPRS) hanya meningkat dari menjadi 162 bank dengan 440 kantor. Dalam konteks industri keuangan syariah di di dunia, Indonesia menduduki peringkat kelima setelah Iran, Malaysia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, naik dua peringkat dari 2012 (Global Islamic Finance Report (GIFR), 2013). Akan tetapi dilihat dari besaran market share perbankan syariah, Indonesia berada di peringkat kedua ASEAN (5 persen) setelah Malaysia (18 persen). Walaupun pertumbuhan industri perbankan syariah sepanjang tiga tahun terakhir rata-rata mencapai sekitar 36 persen, akan tetapi market share-nya masih di bawah 5 persen dari total aset bank secara nasional. Jumlah nasabah bank syariah juga masih sedikit, yaitu di bawah 20 juta orang. Data ini memberikan gambaran bahwa perbankan syariah memiliki potensi untuk tumbuh.
Belakangan muncul gagasan merger bank-bank syariah berplat merah (BUMN), yang rencananya akan dipercepat pelaksanaannya pada tahun 2015 (Ahmad Buchory, 2015). Saat ini, terdapat 3 bank syariah dan 1 unit usaha syariah yang berstatus BUMN, masing-masing PT Bank Syariah Mandiri, PT BNI Syariah, PT BRI Syariah, dan unit usaha syariah PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN). Pembicaraan awal rencana ini sudah dimulai dan di-lead oleh Kementerian BUMN. Merger akan membuat bank syariah menjadi besar dan memberikan sumbangsih ke perekonomian nasional. Alasan utama merger bank BUMN syariah ialah Indonesia belum memiliki bank syariah yang memiliki aset dan kemampuan pembiayaan yang besar, padahal Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam (Rini Soemarno, 2015).
Pertanyaannya, apakah hasil merger bank syariah memberikan nilai tambah yang lebih tinggi? Mengingat pengalaman kesuksesan dan kegagalan merger di Negara lain, maka, pemerintah harus melakukan kajian yang konprehensif dan mendalam agar dapat memilih opsi yang terbaik dalam melakukan merger bank-bank (BUMN) syariah di Indonesia. OJK membutuhkan rekomendasi dari pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN untuk menindaklanjuti gagasan merger bank-bank syariah tersebut.
Kajian ini bertujuan untuk (1) mengkaji opsi kebijakan penggabungan bank-bank syariah milik bank-bank BUMN menjadi satu BUMN tersendiri dengan pola merger ataupola konsolidasi; (2) memberikan rekomendasi opsi penggabungan sebagai masukan untuk formulasi kebijakan pemerintah; dan (3) mengestimasi besaran Penyertaan Modal Negara (PMN) pada bank hasil penggabungan (BUMN) untuk memenuhi kategori BUKU III (target modal inti Rp5 triliun - Rp 30 triliun) atau BUKU IV (target modal inti > Rp 30 triliun), dan pemerintah menjadi pemegang saham mayoritas (>50%).
Untuk menentukan pilihan merger atau konsolidasi, dalam kajian ini digunakan metode analisis kuantitatif-deskriptif. Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah added value (sinergy value) seperti valuation method, menggunakan beberapa indicator sebagai berikut: (1) Business analysis; (2) Financial analysis; dan (3) Risk analysis; (4) Economic analysis; dan (5) Legal analysis.
Kajian ini menganalisis enam opsi, yaitu (1) pola kuasi merger dan akuisisi. Langkah yang harus dilakukan adalah dengan mendirikan bank syariah terlebih dahulu, misalnya Bank Syariah Indonesia (BSI). Selanjutnya tiga bank syariah yang menjadi target penggabungan (Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah) digabungkan dan pada tahap akhir melakukan akuisisi terhadap unit usaha syariah (UUS) BTN; (2) pola konsolidasi dan akuisisi. Langkahnya adalah tiga bank syariah target penggabungan dikonsolidasi dengan nama baru dan kemudian dilanjutkan dengan mengakuisisi UUS BTN.; (3) pola merger dan akuisisi. Langkah pertama adalah menggabungkan (merger) tiga bank syariah dan kemudian dilanjutkan dengan mengakuisisi UUS BTN dan selanjutnya mengganti nama bank dengan nama baru, misalnya Bank Syariah Indonesia; (4) mengkonversi BTN menjadi bank syariah dan kemudian digabungkan dengan tiga bank syariah lainnya; (5) matured Merger (Two Step Merger). Langkahnya adalah Bank-bank induk (Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BTN) mendorong akselerasi pertumbuhan bank-bank syariah anak perusahaan (Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah , BRI Syariah, UUS BTN). Selanjutnya, dilakukan penggabungan dengan pola merger; dan (6) UUS BTN tidak ikut dalam penggabungan bank syariah, hanya tiga bank syariah yang digabungkan baik dengan cara merger maupun dengan cara konsolidasi.
Kajian ini menyimpulkan adalah (1) Penggabungan bank-bank syariah dapat dilakukan dengan lebih mudah pada bank-bank syariah yang mempunyai hubungan istimewa dengan Pemerintah dan berbentuk entitas, yaitu Bank Syariah Mandiri, BRI Syariah, dan BNI Syariah. Posisi Pemerintah sebagai pemegang saham utama pada bank-bank induk ketiga bank syariah tersebut membuat proses penggabungan dapat dilakukan dengan lebih mudah; (2) Agar dapat berkompetisi dengan wajar dan tumbuh dengan baik, perlu dibentuk bank syariah yang besar, sehingga skala ekonomi (economies of scale) dapat tercapai, pelayanan dapat ditingkatkan, dan yang paling penting kebijakan bank syariah harus bebas atau independen dan mandiri, serta tidak dalam bayang-bayang bank induk konvensional. dan (3) Pola merger atau konsolidasi memiliki efek yang tidak signifikan berbeda terhadap sisi ekonomi, strategi, keuangan, risiko dan lainnya. Efek yang cukup signifikan atas pilihan skema merger atau konsolidasi diperkirakan pada sisi legalitas dan benturan kepentingan antar sumber daya manunsi (SDM) yang berasal dari atau berlatar belakang berbeda.
Rekomendasi kajian ini adalah sebagai berikut (1) Pembentukan bank syariah baru misalnya Bank Syariah Indonesia dengan konsekuensi perlu modal Negara. Mengingat untuk mencapai target membutuhkan Penyertaan Modal Negara (PMN) yang cukup besar (Rp22,1 triliun), maka tahap pertama mencapai target buku III, dimana modal negara yang perlu ditambahkan hanya sebesar Rp8,93 triliun; (2) opsi penggabungan bank syariah yang dipilih adalah melakukan merger keempat bank syariah, termasuk bank syariah baru, dengan ketiga bank syariah target. Bank syariah baru diposisikan sebagai bank champion. Sedangkan ketiga bank lainnya dibubarkan. Penyertaan modal bank-bank induk konvesional tetap dipertahankan, hanya tidak pada posisi sebagai pemegang saham pengendali.
Empat Bank Syariah milik BUMN yaitu PT Bank Syariah Mandiri, PT Bank BNI Syariah, PT Bank BRI Syariah, dan Unit Usaha Syariah PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, akan di merger. Otoritas Jasa Keuangan mengaku bertekad untuk terus maju menggabungkan atau merger Bank BUMN Syariah. Bila merger dapat dilaksanakan, diperkirakan asset dari 4 bank syariah tersebut mencapai Rp. 106 triliun, dengan gabungan aset ini, diharapkan BUMN dapat melakukan ekspansi ke beberapa negara ASEAN dalam rangka menyambut MEA.penambahan modal diperlukan untuk meningkatkan kapasitas entitas bank hasil merger. perlu dilakukan kajian agar merge tersebut tak hanya sekedar menggabungkan akan tetapi meningkatkan manfaat dan memiliki nilai tambah. Proses merger pasti diiringi masa konsolidasi tiga tahun yang membuat aset mengerut dan tidak ekspansi.
Juga potensi resistensi internal bank-bank syariah, saat aset masing-masing bank BUMN syariah sudah 20 persen dari induknya, total aset akan sudah melampaui Rp110 triliun, barulah merger dilakukan. Pemerintah juga harus menambahkan modal sehingga pemegang sahamnya empat bank induk plus pemerintah. Tahap ini direkomendasikan dilaksanakan pada 2018-2020, Jika tujuan merger untuk membentuk bank syariah besar, maka upayanya tidak hanya bank BUMN syariah.
Akan tetapi juga Bank Pembangunan Daerah (BPD) syariah dan konversi. saat ini Bank Syariah milik Bank BUMN terbesar adalah PT Bank Syariah Mandiri yang merupakan anak usaha PT Bank Mandiri Tbk. BSM bahkan merupakan bank syariah terbesar di Indonesia. Namun, pada akhir tahun lalu, modal perseroan baru mencapai Rp 4,72 triliun sehingga masih berada pada kelompok BUKU II atau bank dengan modal inti Rp 1-5 triliun.
Sementara itu, BNI syariah yang berada diposisi kedua setelah BSM memiliki modal inti sebesar Rp 1,87 triliun per akhir tahun lalu, sedangkan BRI syariah Rp 1,67 triliun. Dengan demikian jika digabungkan, modal inti ketiga Bank Umum syariah tersebut hanya mencapai Rp 8,25 triliun atau baru dapat masuk kelompok BUKU dengan modal inti Rp 5-30 triliun. Dengan demikian, untuk menjadi Bank BUMN, dimana Pemerintah harus memiliki porsi saham diatas 50% pada Bank hasil penggabungan tersebut maka pemerintah harus menyuntikkan modal diatas modal gabungan empat Bank BUMN tersebut atau diatas Rp 8 triliun. Melakukan merger bank BUMN Syariah karena melihat jumlah penduduk muslim mayoritas lebih dari 160 juta. Namun perkembangan ekonomi syariah saat ini terlihat sebagai penetrasi dari sisi aset hanya sekitar 4 persen dibandingkan dengan bank konvensional. Selama ini kinerja bank syariah belum dapat menyaingi dari Bank konvensional.
Berdasarkan data BI per Oktober 2014, total aset perbankan syariah baik Bank Umum Syariah (BUS) maupun Unit Usaha Syariah (UUS) mencapai Rp 260,36 triliun. Angka ini, hanya 4,78 persen dari total aset perbankan konvensional yang bernilai Rp 5.445,65 triliun. Bahkan, pangsa aset perbankan syariah di akhir Oktober 2014 justru lebih sedikit jika dibandingkan Oktober 2013 yang sebesar Rp 229,55 triliun atau 4,86 persen dari total aset perbankan. BI pada akhir tahun 2013 menargetkan porsi aset bank syariah sebesar 5,25 persen–6,25 persen dari total aset bank umum konvensional.
Namun merger memang tak ubahnya buah simalakama. Di satu sisi, langkah itu akan memperkuat bank syariah BUMN. Karena selain modal dan asetnya tambah gede, bank hasil merger juga lebih efisien. Di sisi lain, apabila merger dilakukan, besar kemungkinan akan terjadi pengurangan jumlah pegawai.Pengalaman membuktikan, ketika Bapindo, BBD, BDN, dan Bank Exim bergabung membentuk Bank Mandiri, banyak karyawan terpaksa dirumahkan. Hal yang juga terjadi ketika lima bank swasta bergabung membentuk Bank Permata. Dampak dari merger ini berimbas ke semua level, mulai dari karyawan biasa hingga posisi direktur, akan terjadi pengangguran besar besaran. Itu semua harus dipertimbangkan benar oleh pemerintah. .
Adanya opsi untuk membuka bank syariah tersebut bekerja sama dengan pihak lain. Contoh kerjasama dengan negara GCC maupun Saudi ingin berpartisipasi membangun di Indonesia, sehingga terciptanya tools berpartner , dengan semakin banyaknya mitra berpartisipasi terjadi transfer teknologi, pengetahuan,dan modal masuk, mengapa kita tidak coba. Sangat perlunya peran dan perhatian penuh pemerintah agar mampu meningkatkan akselerasi Bank Syariah di Indonesia, sebagaimana dapat dicontoh di Malaysia sebagai negara tetangga yang sangat perhatian dengan pemerintah, apalagi Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia.
Penulis
Sunarji Harahap, M.M.
Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Islam (FEBI) Universitas Islam Negeri Sumatera Utara dan PEMERHATI EKONOMI SYARIAH
loading...

0 Response to "Untung Rugi Merger Bank BUMN Syariah"
Post a Comment