Quo Vadis Sumut Provinsi Literasi?
Selanjutnya, ada peringkat literasi bertajuk 'World's Most Literate Nations' yang
diumumkan pada Maret 2016, produk dari Central Connecticut State University
(CCSU). Pemeringkatan
perilaku literasi ini dibuat berdasar lima indikator kesehatan literasi negara,
yakni perpustakaan, surat kabar, pendidikan, dan ketersediaan
komputer. Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara yang disurvei. Kita
hanya lebih baik dari negara nun jauh di Afrika: Botswana. Peringkat teratas
diborong negara-negara Skandinavia. Nomor satu ada Finlandia, disusul Norwegia,
Islandia, Denmark dan Swedia.
Begitu
pula dalam agenda talk-show yang
dihelat Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Sumatera Utara dalam rangka
Pertemuan Penulis, Pembaca dan Penerbit Tahun 2019 di pada Rabu, 12 Juni 2019
lalu di Hotel Madani, Medan. Angka-angka ini kembali mengemuka oleh para
pembicara yang hadir di antaranya Kepala Dispusipda Sumut, Hallen Purba, Ketua
Ikatan Penulis Sumatera Utara, Mihar Harahap, peneliti Balai Bahasa Sumatera
Utara Suyadi San, sastrawan Hasan Al Banna, redaktur Harian Analisa Ali
Murtadho dan Sekretaris IKAPI Sumut, Asrun Daulay. Tak ayal diskusi malam itu
berubah seolah menjadi ajang curhat para pegiat literasi tentang minimnya minat
dan budaya baca di provinsi ini.
Sayangnya,
sebagian solusi yang ditawarkan belum menyentuh akar persoalan kedangkalan
literasi. Pengadaan perpustakaan di daerah, instansi hingga rumah ibadah tentu
sangat baik. Penyelenggaraan sayembara menulis cerita rakyat tahunan pun oke.
Layanan mobil perpustakaan keliling juga mantap. Tapi apakah minat baca kita
tumbuh?
Faktanya
banyak toko buku gulung tikar, buku-buku teronggok di gudang berdebu, sementara
perpustakaan nyaris mati dibunuh sepi. Kalau bukan karena dosen dan guru yang
memberi tugas makalah dengan kewajiban menukil sekian referensi, bisa jadi
kunjungan ke perpustakaan tinggal seremoni institusi pendidikan sebagaimana
dialami museum. Jadi, amat tepat pendapat Ketua Asosiasi Guru Bahasa dan Sastra
Indonesia (AGBSI) Sumut, Saripuddin Lubis dalam pertemuan tersebut bahwa pokok
persoalan dunia literasi kita bukanlah perkara kurangnya ketersediaan bahan
bacaan, melainkan belum tumbuhnya budaya baca.
Provinsi Literasi
Masih
berlarutnya persoalan literasi ini sangat bertolakbelakang dengan semangat
menggebu Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Tepat
di Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2017, Gubernur Sumatera Utara waktu itu T.
Erry Nuradi mendeklarasikan Sumatera Utara sebagai Provinsi Literasi dan
dimulainya gerakan literasi di Sumatera Utara. Menteri Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir yang datang bersama
Sekretaris Utama Perpustakaan Nasional Dedi Junaedi turut bertepuk tangan
meriah menyambut pencanangan itu.
Sumut merupakan provinsi keempat
yang mendeklarasikan diri sebagai provinsi literasi setelah DKI Jakarta, Riau,
dan Nusa Tenggara Barat. “Hal-hal yang berhubungan dengan implementasi gerakan
literasi di Provinsi Sumatera Utara akan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh,
sistematis, dinamis, dan berkesinambungan,” janji Erry sebagaimana dikutip Kompas.com (21 Mei 2017). Pendeklarasian
ini dilakukan sebagai bentuk dukungan Pemprov Sumut terhadap Permendikbud Nomor
23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Permendikbud tersebut mengatur
kegiatan membaca buku nonpelajaran wajib 15 menit sebelum kegiatan belajar
mengajar dimulai. Pemerintah menganggap hal ini bisa menuntaskan problem
literasi kita.
Justru di sinilah letak
persoalannya. Gerakan literasi disimplifikasi hanya menjadi kegiatan yang
mewajibkan siswa membaca. Entah sang siswa senang atau terpaksa tak pernah dibahas.
Jika saja guru tak kreatif mempropagandakan manfaat dan pentingnya membaca,
maka seremoni lima belas menit saban hari akan menjadi menit-menit paling horor
yang menghantui hidup para pelajar. Ditambah lagi bila guru secara monoton
hanya menggunakan metode membaca mandiri, dijamin pada satu waktu siswa akan
menemukan titik jenuh. Padahal masih ada metode membaca nyaring (read aloud), membaca bersama (shared reading) dan membaca terpandu (guided reading) yang bisa jadi lebih
mengasyikkan. Akhirnya aktivitas literasi malah dianggap sebagai momok
menakutkan atau sekurangnya membosankan
Literasi pada dasarnya adalah istilah umum yang merujuk
kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis,
berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu
yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam modul yang diterbitkan
Satgas Gerakan Literasi Sekolah Kemendikbud, literasi terdiri enam jenis yaitu
literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi finansial,
literasi digital serta literasi budaya dan kewargaan. Merujuk definisi ini,
literasi tak bisa sekadar dimaknai kegiatan baca tulis, tapi juga menghidupkan
budaya ilmu dan riset. Pada titik tertingginya, kita hendak menciptakan pola pikir
masyarakat modern yang disebut High Order
Thinking Skills (HOTS). Lalu bagaimana seharusnya?
Literasi dari Keluarga
Berdasarkan
prinsip yang diusung oleh Ki Hajar Dewantara bahwa di dalam tripusat pendidikan
terdapat tiga pihak yang sangat berpengaruh, yaitu, keluarga, sekolah dan
masyarakat. Maka dari itu, keluarga memiliki peranan penting sekaligus menjadi
salah satu faktor penentu keberhasilan program Gerakan Literasi Nasional.
Khususnya dalam menumbuhkan budaya baca.
Suka tidak suka, harus kita akui
bahwa salah satu musuh terbesar gerakan literasi adalah gawai (gadget). Gawai memang tak berdosa karena
ia benda netral ibarat pisau bermata dua. Tergantung bagaimana kita
mengendalikannya. Sayangnya, di republik ini kebanyakan pengguna gawai adalah
pecandu permainan daring (game online)
seperti PUBG dan Mobile Legend. Permainan ini kerap menyita banyak waktu
penggunanya hingga sering mengabaikan sisi kehidupannya yang lain, baik
anak-anak maupun orang dewasa. Mimpi tentang shifting (peralihan) media bacaan dari cetak ke digital masih
sebatas karangan fiksi yang belum terwujud.
Hal ini diperparah dengan kurangnya
perhatian orang tua terhadap anaknya. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak telah menyatakan bahwa usia anak mengakses gawai adalah 13
tahun karena dinilai sudah cukup nalar untuk membedakan hal baik dan buruk (tirto.id, 18 Mei 2018).
Itupun tetap harus dengan
pendampingan dan teladan orangtua. Jangan sampai anak dilarang, tapi ayah sibuk
berbalas pesan di Whatsapp dan ibu fokus menyimak aneka promo di toko daring.
Di hari libur pun, jangan disalahgunakan sebagai hari kebebasan bergawai, namun
dimanfaatkan untuk bercengkerama bersama keluarga.
Selanjutnya, literasi keluarga
dimulai dengan menyediakan perpustakaan mini di rumah. Siapkan anggaran rutin
untuk membeli buku baru setiap bulan sesuai kemampuan kita. Agendakan waktu
khusus untuk membacakan buku kepada anak. Nanti di momen ulang tahun, orang tua
dapat memberikan hadiah buku yang menarik. Kita masih harus bertarung dengan
televisi dan internet. Maka yang terpenting jadilan teladan yang dapat ditiru
anak. Patut kita simak sindiran penulis Australia, Paul Jennings, “Tak ada gunanya menularkan virus membaca ke
dalam diri anak-anak, jika Anda sendiri tak pernah memilikinya.”
Intinya, semua elemen harus berjuang
bahu-membahu menumbuhkan budaya literasi bangsa. Program pemerintah terus
digenjot dan diarahkan agar lebih efektif. Termasuk menggunakan anggaran yang
ada untuk sosialisasi kepada orangtua. Selebihnya di sinilah peran elemen
masyarakat secara kultural. Oh ya, jangan sampai ada yang mengaku sebagai
pegiat literasi, tapi dia sendiri alpa membaca buku ya!
Oleh: Anugrah Roby Syahputra
Penulis
adalah pegiat literasi pada Forum Lingkar Pena Sumatera Utara
loading...
0 Response to "Quo Vadis Sumut Provinsi Literasi?"
Post a Comment