Politik Anti Identitas - Suara Medan | Info Medan Terkini

Politik Anti Identitas

SUARAMEDAN.com -Oleh: Anugrah Roby Syahputra

Pilkada serentak kali ini memang penuh warna. Termasuk pula di provinsi Sumatera Utara yang kandidatnya hanya dua. Meski pencoblosan sudah usai, namun dinamikanya masih berlanjut hingga kini. Apalagi memang belum ada penetapan hasil penghitungan suara yang resmi dari KPUD. Hitung cepat yang dibuat sejumlah lembaga survei sudah menyatakan pasangan Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah (Eramas) sebagai pemenang. Data SMRC, Indikator dan LSI menyebut Eramas memperoleh masing-masing 59,17%, 56,34% dan 56,52% suara. Sementara Djarot Syaiful Hidayat-Sihar Sitorus (Djoss) menurut ketiga lembaga tersebut berturut-turut harus puas dengan suara sebesar 40,83%, 43,66% dan 43,48%.

Hal yang menarik adalah dalih yang dikemukakan parpol pendukung Djoss terkait kekalahan jagoannya dalam pesta demokrasi ini. Sekretaris Jenderal PPP, Arsul Sani menuding penggunaan isu suku, agama, ras dan antargolongan selama kampanye Pilgub Sumatera Utara menjadi sebab keoknya Djoss di bilik suara. Dia bahkan mengklaim Sumatra Utara menjadi satu-satunya wilayah yang masih menggunakan isu SARA pada pilkada serentak 2018. (cnnindonesia.com, 28/6/18). Tak berbeda dengan rekan koalisinya, Ketua DPP PDIP, Hendrawan Supratikno menilai salah satu faktor kekalahan Djarot adalah karena permainan politik identitas. “Kami menilai politik identitas benar-benar digunakan untuk membangkitkan sentimen dan preferensi pemilih,” ujarnya kepada Okezone.com, Kamis (28/6/2018).

Di tahun politik ini isu politik identitas selalu diangkat dan direproduksi secara massif oleh sejumlah kalangan. Mereka umumnya merasa trauma dengan Pilkada DKI yang menurutnya memicu konflik horizontal di masyarakat. Model politik ini lebih hebat lagi dituding mencederai ruh demokrasi yang susah payah dibangun pasca reformasi bergulir. Namun benarkah politik identitas memantik pertikaian? Politik identitas model bagaimana yang dimaksud dan seperti apa bentuknya?

Liku Sejarah Politik Identitas
Sesungguhnya identitas politik ini tumbuh secara alami pada diri manusia, yang paling sederhana dan instingtif –mengutip Lothrop Stoddard dalam  The Rising Tide of Color Against White World-Supremacy- adalah berkumpulnya manusia dengan ciri-ciri fisik yang sama, atau biasa kita sebut dengan 'ras'. Seiring dengan bertambah padatnya bumi dengan segala kompleksitas manusianya, proses identifikasi ini menjadi semakin menyempit. Manusia, tulis Koetjaraningrat (1986), digolongkan berdasarkan bahasanya, cara berpakaiannya, cara bertahan hidupnya, sistem pengetahuannya, dan lain-lain.

Istilah politik identitas sendiri awalnya diperkenalkan oleh  L. A. Kauffman dalam tulisannya berjudul "The Anti-Politics of Identity". Ia menelusuri awal mula politik model ini berasal dari gerakan mahasiswa antikekerasan yang dikenal dengan sebutan SNCC (the Student Nonviolent Coordinating Committee), sebuah organisasi gerakan hak-hak sipil Amerika Serikat di awal 1960-an. Sedang dalam catatan ilmuwan politik Universitas Pensylvania, Amy Gutmann dalam Identity in Democracy, istilah ini mengemuka dengan lahirnya gerakan Marthin Luther King serta nasib kaum Black Muslim di Amerika Serikat yang menerima serangkaian ketidakadilan. Jadi memang ia hadir disebabkan adanya disparitas ekonomi, diskriminasi hak serta marjinalisasi politik.

Sampai di situ, tak ada masalah yang berarti karena gerakan ini merupakan desakan politik keterwakilan an sich. Salurannya juga menggunakan mekanisme konstitusional. Problem yang patut kita waspadai bersama adalah jika ada pemaksaan kehendak dan/atau pilihan serta kekerasan seperti yang terjadi di Landak, Kalimantan Barat. Meskipun Polri mengatakan peristiwa di sana sebagai “cuma ricuh kecil”, tentu ini preseden buruk bagi demokrasi kita. Begitu pula dengan anarkisme di Pilkada Tapanuli Utara yang di dunia maya coba disangkutpautkan dengan Pilgub Sumatera Utara. Pihak-pihak yang menyebarkan disinformasi ini patut ditertibkan karena telah menghasut pikiran publik dengan berita bohong yang dapat merusak harmoni warga Sumut yang sudah sejak dahulu hidup damai dalam bhinneka.

Al-Maidah 51, Salahkah?
Nah, diskursus politik identitas agama yang mencuat di Sumatera Utara konon tak berbeda dengan DKI Jakarta. Salah satu di antaranya adalah penyampaian Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 51 serta sejumlah ayat lainnya yang kontennya menegaskan larangan bagi kaum muslim untuk memilih pemimpin yang tak seakidah. Ulama dikambinghitamkan dan dituduh memancing kerusuhan. Umat yang mencoba memegang teguh agamanya dianggap intoleran dan menolak keberagaman. Jika ini yang dimaksud sebagai pemicu konflik di Jakarta, tampaknya ini merupakan asumsi yang keliru. Toh terbukti kelompok umat beragama lain tak ada yang protes dan marah.

Mereka yang bereaksi justru berasal dari kelompok politisi dan relawannya yang tak sudi pemimpinnya dikritik. Padahal mereka lupa, tindakan penistaan agama oleh idolanya itulah yang mengundang permusuhan. Tak bisa dipungkiri kata-kata Basuki yang menghina Al-Qur’an dan ulama yang mendakwahkannya adalah simbol kebencian dan ketidaksiapan menerima perbedaan. Syukur penegak hukum sudah menegakkan keadilan. Semoga tragedi serupa tak berulang di kemudian masa.

Selain itu, langkah para ustadz yang menyampaikan firman Tuhan serta sikap jamaah yang mengikutinya dengan alasan keimanan adalah hak konstitusional setiap warga negara yang dijamin oleh Undang-undang. Menyampaikan ajaran kitab suci sama artinya dengan menyemai nilai luhur Pancasila. Melarangnya tanpa dasar hukum dapat dikategorikan perbuatan yang mencederai empat pilar kita. Sedih sekali kita saat Ustadz Abdul Somad dan Tengku Zulkarnain jadi sasaran perundungan (bully) di media sosial. Bahkan kedatangannya untuk ceramah dihadang demonstrasi. Tak sadarkah bahwa yang terpenting jika paslon dambaan tak menang, kita legowo menerimanya, mendukung program pembangunannya serta mengawal kinerjanya agar tak khianat pada sumpah jabatannya? Insya Allah sampai sejauh ini, secara umum arus utama umat Islam masih menjunjung tinggi toleransi. Persis yang dinasehatkan Hamka dalam Tafsir Al-Azhar-nya, “Meskipun pandangan kita berbeda, kita masih bisa bertetangga secara jujur. Karena pada pendirian kami, agama itu tidak bisa dipaksakan. Agama adalah soal petunjuk dan hidayah Ilahi.”

Hentikan Standar Ganda
Dakwaan bahwa umat Islam lebih mengedepankan relasi emosional daripada pertimbangan rasionalpun patut diralat. Statistik hasil rekapitulasi Pilgubsu 2018 menjelaskan kepada kita bahwa pasangan Djoss menang di daerah seputaran danau Toba yang dihuni mayoritas beragama Kristen dan Katolik, sedangkan Eramas unggul di seluruh wilayah pesisir berpenduduk dominan Islam. Fakta tak terbantahkan juga dapat dilihat misalnya seluruh TPS di Kelurahan Pekan Binjai, Kec. Binjai Kota yang berpenduduk umumnya etnis Tionghoa dimenangkan Djoss secara telak. Sebaliknya di kawasan pemukiman dengan komposisi warga Jawa dan Melayu –seperti survei LSI- Eramas unggul jauh. Semua ini sangat wajar dan manusiawi.

Intinya, tak ada yang salah dari kecenderungan-kecenderungan ini bila dilakukan tanpa pemaksaan dan kekerasan. Sangatlah disayangkan bila ada kelompok yang mengkritisi politik identitas ini secara parsial dan berpihak. Di satu sisi umpatan-umpatan radikal ia sematkan kepada lawannya di ruang terbuka, tapi dalam forum tertutup si pemvonis ini malah lebih lantang bicarakan urgensi mendukung kawan seidentitasnya. Mari berhenti berpura-pura. Bukankah di Medan pun kita terbiasa dengan iklan kos khusus etnis tertentu di halaman koran ternama? Tapi kita biasa saja karena menghormatinya dengan tenggang rasa.

Kemudian, jangan sampai ada lagi hoaks yang jadi duri dalam daging persatuan bangsa kita. Propaganda yang dilempar dengan slogan-slogan sarkas seperti “biar koruptor asal seakidah” dan “biar preman asal putra daerah” harus dihentikan. Penggiringan opini tanpa bukti amatlah tak beretika. Jika punya bukti bahwa paslon tertentu adalah koruptor dan bandit segera saja lapor polisi atau KPK. Tapi semua itu tak pernah dilakukan oknum-oknum tak bertanggungjawab itu sebab itu hanyalah fitnah dan prasangka belaka.

Eloklah kita simak debat sengit pendiri bangsa jelang kemerdekaan. Soalan utamanya adalah tujuh kata dalam sila pertama Pancasila. Ada politik identitas di situ. seorang tokoh dari Indonesia Timur yang menyatakan Indonesia Timur lebih baik memisahkan diri apabila frase “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” ditetapkan. Syukurnya demi kepentingan nasional, tokoh Islam rela mengalah dan berkompromi sehingga  sila pertama seperti yang kita kenal sekarang ini, "Ketuhanan Yang Maha Esa". Pada masa itu- tulis Syafii Maarif (2009)-, "politik identitas haruslah dinilai sebagai sesuatu yang positif dan bahkan sebagai keharusan sejarah".

Terakhir, bagi PDIP ada pelajaran tentang rindu simpatisannya akan pemimpin asli Sumatera Utara. Selalu menang pemilu tapi kalah pilgubsu itu menyakitkan. Tiga kali pilkada tokoh Jakarta tetap gagal rebut kuasa. Mulai Tritamtomo, Effendi Simbolon yang sebut Bagansiapi-api bagian dari Sumut hingga Djarot yang baru selesai KTP elektroniknya. Sedangkan bagi PPP kini siap-siap ditinggalkan akar rumputnya. Kritikan bahwa partai ini menyimpang dari khittahnya tak bisa ditampik begitu saja. Apalagi setelah viral logo kakbah terpasang di sebuah lapo tuak.  Tak salah Yasraf Amir Piliang yang mengkritik apa yang disebutnya “nomad-nomad politik” dalam Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial (2003): nomad adalah seorang skizofrenik yang mudah berpindah dari satu identitas ke identitas lainnya, dari satu keyakinan ke keyakinan lainnya, yang selalu memberikan jawaban berbeda untuk sebuah pertanyaan yang sama. Naudzubillah min dzalik.

Penulis adalah Ketua Umum Forum Lingkar Pena Sumatera Utara.

Subscribe to receive free email updates:

loading...

0 Response to "Politik Anti Identitas"

Post a Comment