Keluarga dalam Perspektif Al-Quran - Suara Medan | Info Medan Terkini

Keluarga dalam Perspektif Al-Quran


Oleh: Dr H. Zamakhsyari Bin Hasballah Thaib, Lc., MA

SUARAMEDAN.com -Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, keluarga dimaknai dengan “sanak saudara; kaum kerabat; orang seisi rumah; anak bini, batih.” Dalam bahasa Arab, kata keluarga sering disebut dengan usrah. Dalam Mu’jam al-Wasith, al-Usrah dimaknai dengan“perisai yang melindungi, keluarga dan kerabat seseorang, satu kelompok yang dihubungkan dengan satu ikatan kesamaan.” 

Kata “keluarga” sebagai sebuah istilah ilmu didefenisikan dengan beragam defenisi sesuai dengan ilmu apa yang dijadikan sebagai pisau analisisnya. Mustafa al￾Khassyab dalam kitabnya “Ilm al-Ijtima’ al-Aili” menjelaskan bahwa keluarga merupakan suatu unit yang menghimpun dan mengatur sekelompok orang yang bertanggung jawab menjaga kestabilan masyarakat dan perkembangannya.” 

Keluarga merupakan satuan terkecil dalam sebuah tatanan masyarakat.  Sedangkan masyarakat merupakan himpunan dari beberapa keluarga. Karenanya, baik dan buruknya suatu masyarakat sangat berkorelasi selaras dengan baik buruknya keluarga. 

Keluarga yang baik merupakan awal dari masyarakat yang sejahtera. Sebaliknya, keluarga yang amburadul dan kacau merupakan pertanda hancurnya sebuah masyarakat. Individu-individu yang baik akan membentuk keluarga yang harmonis. Keluarga￾keluarga yang harmonis akan mewujudkan masyarakat yang aman dan damai. 

Selanjutnya, masyarakat-masyarakat yang damai akan mengantarkan kepada negara yang kokoh dan sejahtera. Maka, jika ingin mewujudkan negara yang kokoh dan sejahtera bangunlah masyarakat yang damai. Dan jika ingin menciptakan masyarakat yang damai, binalah keluarga-keluarga yang baik dan harmonis.

Kata Usrah tidak pernah disebutkan dalam al-Qur’an dengan makna keluarga. Walaupun demikian, akar kata usrah disebutkan sebagian darinya dalam al-Qur’an. Hal ini tidak berarti Al-Qur’an tidak mendudukkan keluarga pada posisi yang strategis. Karena al-Qur’an banyak menggunakan beragam kata lain untuk menunjukkan makna keluarga. Ada kata ahl (أهل) yang bermakna keluarga disebutkan lima kali. Adapula kata ‘asyirah (عشيرة) yang juga menunjukkan makna keluarga sebanyak tiga kali. Ada lagi kata rahth (رهط) yang disebutkan dua kali.

Mengingat begitu pentingnya peran keluarga dalam menciptakan dan  merealisasikan masyarakat yang baik dan sejahtera, tidaklah mengherankan bagaimana al-Qur’an memberikan perhatian yang sangat besar pada pembinaan keluarga. Karena seperti disinggung di atas- seandainya instrumen terpenting dalam masyarakat ini tidak dibina dengan baik dan benar, merupakan suatu kemustahilan mengharapkan terwujudnya sebuah tatanan masyarakat idaman.

Al-Qur’an menggambarkan bahwa Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah menciptakan dari Adam pasangannya Hawa, dan memerintahkan Adam  agar hidup tenang bersama istrinya. “diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini..” (QS. Al-Baqarah: 35)

Perintah ini sifatnya umum, artinya semua pria dari keturunan Adam akan merasa tenang jika mereka bersama dengan pasangan mereka. “tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu...” (QS. At-Thalaq: 6) Sebagaimana Allah menjadikan malam hanya sebagai sumber ketenangan (lihat QS. Al-An’am ayat 96), dan menjadikan rumah sebagai sumber ketenangan (lihat QS an￾Nahl ayat 80), Allah menjadikan pula isteri sebagai sebab ketenangan bagi suami dan sebaliknya menjadikan suami sebab ketenangan bagi isteri. “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya…” (QS. Ar-Ruum: 21)

Allah juga berfirman: “Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya…” (QS. Al￾A’raaf: 189)
Keluarga adalah sumber ketenangan bagi suami, ketenangan bagi isteri, dan tempat tumbuh kembangnya anak, dan tempat utama pendidikan. Sekiranya keluarga ini baik, maka akan baik pula ummatnya. Umat yang perduli dengan keluarga maka umat itulah yang akan sukses dalam kepemimpinan.

Untuk itulah, syara’ meletakkan aturan dan pondasi untuk melindungi keluarga dari berbagai aspek. Syara’ meletakkan batasan – batasan bagi kedua pasangan, baik hak maupun kewajiban. Memperhatikan dan peduli dengan pembentukan keluarga merupakan salah satu wujud syukur terhadap nikmat Allah.

Ada begitu banyak gambaran yang dipaparkan al-Qur’an tentang pernak pernik keluarga, dengan beragam problematika dan bentuknya. Tujuannya hanya satu agar kita mengambil pelajaran dan I’tibar darinya.

Ada gambaran ayah yang mendapatkan hidayah yang berkata kepada putranya: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama Kami…” (QS. Huud: 42) Namun si anak tetap keras kepala, bahkan ia berkata kepada ayahnya: “anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!" (QS. Huud: 43)

“Nuh berkata: "tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) yang Maha Penyayang". (QS. Huud: 43) Begitulah kondisi si anak yang terus keras kepala dan membantah seruan tanda kasih sayang dan cinta ayahnya, hingga akhirnya ia tenggalam.
Adapula gambaran ayah yang mendapatkan hidayah yang terus memperhatikan dan peduli dengan pendidikan anaknya sedari kecil, agar anaknya menjadi anak yang saleh.

“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (QS. Luqman: 13) Lalu si ayah terus menasehati anaknya: “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman: 17-19)

Ada pula gambaran tentang anak yang mendapatkan hidayah yang berjumpa dengan ayahnya yang sesat. Bagaimana digambarkan si anak berupaya mengajak si ayah agar menerima jalan hidayah dan bersegera kepadanya.

“ingatlah ketika ibrahim berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai bapakku, Sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, Maka ikutilah Aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, Sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan yang Maha pemurah, Maka kamu menjadi kawan bagi syaitan". (QS. Maryam: 42-45)

Walaupun mendapatkan penolakan dan kecaman keras dari si ayah, sang anak tetap tidak menyerah menyeru ayahnya dengan hikmah dan kebijaksanaan, bahkan ia terus mendoakan hidayah bagi ayahnya dan beristighfar untuknya.

Ibrahim berkata: "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. (QS. Maryam: 47)

Walaupun demikian, si anak tidak pernah sedikitpun ikut serta dalam kebathilan yang dikerjakan si ayah bersama kelompoknya. “dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, Mudah￾mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku". (QS. Maryam: 48)

Bahkan keseriusan si anak mendoakan si ayah tidak menghalanginya untuk  mencari tahu posisi doa dan istighfar tersebut dalam timbangan syara’, hingga akhirnya si anak sadar bahwa ayahnya telah menjadi musuh bagi Allah. “dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, Maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi Penyantun.” (QS. At-Taubah: 114)

Siapa yang membaca al-Qur’an akan menemukan contoh – contoh keluarga yangberagam, mulai dari keluarga Adam dan Hawa, hingga keluarga di masa turunnya wahyu, seperti keluarga Nuh as, Keluarga Luqman, Keluarga Ibrahim,  Al-Qur’an mengabadikan potret bagaimana seorang Ibrahim as sangat merindukan kehadiran seorang anak yang saleh, hingga dalam do’anya ia tidak pernah lupa memhon kepada Allah. Justru kemudian setelah dikaruniakan anak, Ibrahim diuji  dengan perintah untuk menyembelih anaknya.

“Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang Termasuk orang￾orang yang saleh. Maka Kami beri Dia khabar gembira dengan seorang anak yang Amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar". tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu Sesungguhnya Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shaffaat: 100-107)

Al-Qur’an juga membuat gambaran tentang persaudaraan dengan beragam problematika dan bentuknya. Ada gambaran du asaudara yang saleh, Harun bersama Musa as. Bagaimana Musa memohon kepada Allah agar menganugerahkan kepada Harun kenabian dan kerasulan.

“dan saudaraku Harun Dia lebih fasih lidahnya daripadaku, Maka utuslah Dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkata- an)ku; Sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku". Allah berfirman: "Kami akan membantumu dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar, Maka mereka tidak dapat mencapaimu; (berangkatlah kamu berdua) dengan membawa mukjizat Kami, kamu berdua dan orang yang mengikuti kamulah yang akan menang.” (QS. Al-Qashash: 34-35)
“dan Jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan Dia kekuatanku, dan jadikankanlah Dia sekutu dalam urusanku,” (QS. Thahaa: 29-32)

Seorang saudara yang baik tidak pernah pelit untuk menasehati saudaranya yang lain saat ia membutuhkannya. “dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), Maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. dan berkata Musa kepada saudaranya Yaitu Harun: "Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan". (QS. Al-A’raaf: 142).

Saudara yang baik tidak akan membiarkan saudaranya berada dalam kesalahan, bahkan mencoba mengembalikan saudaranya kepada kebenaran. “berkata Musa: "Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat, (sehingga) kamu tidak mengikuti Aku? Maka Apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?" Harun menjawab' "Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; Sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): "Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku". (QS. Thahaa: 92-94)

Ada juga gambaran saudara – saudara yang diadu domba oleh syaithan, hingga tega melakukan pada saudaranya apa yang tidak sepantasanya dilakukan, walaupun kemudian yang bersalah bertaubat dan kembali pada kebenaran. Kisah Yusuf dan saudara – saudaranya yang membuangnya ke sumur tua. Walaupun saudaranya berbuat keburukan terhadapnya, tetapi Yusuf selalu mengingat kebaikan ayah dan saudaranya kepadanya, bahkan di saat ia berada dalam penjara sekalipun.

“dan aku pengikut agama bapak-bapakku Yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya'qub. Tiadalah patut bagi Kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada Kami dan kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukuri (Nya).” (QS. Yusuf: 38) Yusuf sangat cepat memaafkan kesalahan saudara – saudaranya, “mereka berkata:  "Demi Allah, Sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas Kami, dan Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)". Dia (Yusuf) berkata: "Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, Mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara Para Penyayang". (QS. Yusuf: 91-92)

Bukti Yusuf memaafkan saudaranya, di saat keluarganya kesulitan memperoleh makanan, di saat musim paceklik, ia tetap membantu merea sebaik mungkin dengan kekuasaan dan otoritas yang dimilikinya. “dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku". (QS. Yusuf: 93)
Al-Qur’an juga membuat gambaran dua saudara, dimana di saat salah satu dari keduanya, hatinya dipenuhi dengan dengki dan iri kepada sauadaranya yang lain, akhirnya ia memusuhi sauadara yang mnyayanginya, bahkan berujung hingga si saudara tega membunuh saudaranya sendiri. “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu … Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi.” (QS. Al￾Ma’idah: 27-30)

Selain itu, al-Qur’an juga dipenuhi dengan gambaran suami dengan isterinya. Ada gambaran suami istri yang sama – sama beriman, seperti keluarga Ibrahim dengan kedua isterinya Sarah dan Hajar. Ibrahim diuji dengan istri dan anaknya, dan keduanya memnggambarkan keteladanan dalam kesabaran yang luar biasa. Satu keluarga semuanya tegar menghadapi ujian keimanan dari Allah, mulai dari ayah, ibu, hingga anak. Belum lagi ujian Allah kepada istri pertama Ibrahim lambat memperoleh keturunan, hingga akhirnya karena usaha dan do’a akhirnya Sarah dan Ibrahim dikaruniakan Ishaq.

Ada pula gambaran isteri yang kafir, walaupun bersuamikan seorang suami yang menjadi nabi sekalipun, keimanan suaminya tidak dapat menyelamatkannya dari azab Allah. Seperti gambaran isteri Nuh dan Luth AS “Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), Maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya):  "Masuklah ke dalam Jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)". (QS. At￾Tahriim: 10)

Adapula gambaran pasangan suami isteri yang sama – sama kafir yang saling bekerja sama dalam memperjuangkan kebathilan dan memadamkan kebenaran. Seperti gambaran keluarga Abu Lahab dan Isterinya Umm Jamil. “binasalah kedua tangan Abu Lahab dan Sesungguhnya Dia akan binasa. tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. kelak Dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. yang di lehernya ada tali dari sabut.” (QS. Al-Masad: 1-5)

Adapula gambaran isteri yang mukmin yang diuji Allah menjadi pasangan bagi suami yang benar – benar tenggelam dalam kekufuran, hingga cahaya hidayah sulit masuk ke dalam qalbunya. Seperti gambaran Asiyah isteri Fir’aun yang terus memelihara iman dan kesuciannya. “dan Allah membuat isteri Fir'aun perumpamaan bagi orang￾orang yang beriman, ketika ia berkata: "Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.” (QS. At-Tahriim: 11)

Al-Qur’an juga banyak bercerita mengenai masa kehamilan Isa as, masa kehamilan Yahya as, dan masa kehamailan Ishaq as. Selain itu, al-Qur’an juga bercerita tentang masa penyusuan dan pendidikan Musa serta Ismail as. Di samping itu, al-Qur’an juga menggambarkan tentang perjuangan para Ibu. Ada isteri Imran yang hamil, dan bernazar bahwa bayinya jika lahir selamat akan mengabdi di Baitul Maqdis. Ada juga ibunda Musa yang saat hamilnya diliputi rasa cemas dan takut, Fir’an akan membunuh anaknya, hingga kemudian Allah mengutus Jibril kepadanya dan memberikan ilham kepadanya tentang apa yang harus dilakukannya demi keselamatan putranya.

Sesungguhnya begitu banyak gambaran al-Qur’an bagi yang mau memperhatikannya. Setiap gambaran dan kisah mengandung begitu banyak pelajaran dan  ibrah yang sungguh saying untuk diabaikan. Al-Qur’an selalu menekankan bahwa iman dan amal salehlah bekal yang paling utama untuk membangun keluarga yang ideal. Karena hanya dengan iman dan amal salehlah suatu keluarga mampu bersabar menghadapi berbagai ujian Allah dalam kehiduapan. Kesabaran sebagai buah iman inilah yang akan menghilangkan rasa sedih, gundah, takut, dan problem kejiwaan lainnya.

Ujian Allah dalam kisah kelurga yang diabadikan dalam al-Qur’an merupakan ujian yang maksimal yang mampu dihadapi dengan semangat iman yang maksimal pula. Seharusnya, untuk menghadapi ujian yang lebih ringan dari itu, seorang mukmin harus siap dan sigap menghadapinya. Tidak ada yang menghadapi ujian dan cobaan terkait anaknya melebihi cobaan Allah untuk Ibrahim, Nuh, dan Ya’qub as. Tidak ada pendakwah yang menghadapi kesulitan dalam dakwahanya melebihi ksulitan yang dihadapi Musa, Nuh, dan Ibrahim. Tidak ada yang menjadi korban konspirasi melebihi Yusuf dan Ya’qub. Namun itu semua bagian dari lika – liku kehidupan yang perlu diambil ibrah darinya.

Dewasa ini, institusi keluarga dihadapkan dengan tantangan yang semakin kompleks, mulai dari upaya meredefenisi keluarga, tidak lagi hanya mencakup keluarga normal semata, namun beragam upaya dilakukan untuk mensosialisasikan pernikahan sejenis yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari kampanye LGBT. Belum lagi tantangan terus meningkatnya angka perceraian di berbagai daerah, baik di Indonesia maupun dunia Islam secara keseluruhan. Dan banyak tantangan – tangan lainnya. 

Walaupun demikian, harus disadari di tengah situasi yang sulit seperti ini sekalipun, upaya menjaga institusi keluarga merupakan tanggung jawab kita semua. Selamat hari keluarga. Semuga keluarga kita semua menjadi sarana menghantarkan kita meraih ridho ilahi.

Subscribe to receive free email updates:

loading...

0 Response to "Keluarga dalam Perspektif Al-Quran"

Post a Comment